Saya masih ingat betul saat pertama kali dibelikan sepeda
baru oleh emak. Saat itu saya kelas 6 SD, dan sudah saatnya untuk disunat.
Sebenarnya takut sih, cuman si emak membujuk saya untuk tetap sunat dengan
iming – iming dibelikan sepeda baru. Saat itu saya iya – iya saja tanpa
memikirkan resiko dan beban yang akan saya temui di masa depan. Dan di desa
setiap ada hajatan besar pasti akan ada perayaan. Memang itu tradisi turun –
menurun dari nenek moyang yang seorang pelaut, Gemar mengarung luas samudra...
Menerjang ombak tiada takut... Menempuh badai sudah biasa... *maaf kebawa
suasana..
Dan seketika saya setuju dengan tawaran si emak. Keluarga
besar saya pun menyelenggarakan Rapat Paripurna membahas tentang perayaan besar
– besaran. Setelah seluruh anggota keluarga kumpul, barulah Rapat ini dimulai.
Belum ada 5 menit, saya melihat ada beberapa anggota Rapat sudah menguap. Mulut
mereka terbuka layaknya vakum cleaner yang sedang menghisap mangsa. Dan di
menit ke 10, orang yang menguap tadi mulai menaruh kepalanya di meja, tertunduk
dengan beralaskan kedua tangannya di atas meja. Saya mulai berpikir “ Jadi
seperti ini toh rasanya, pas Rapat malah ada yang tidur. Sudah seperti Anggota
DPR saja “. Akhirnya Rapat yang tidak jelas tadi menghasilkan sebuah kesimpulan
bahwasanya mau tidak mau saya harus sunat 2 minggu lagi. Acara pesta
perayaannya akan dipersiapkan oleh keluarga.
Mendengar kesimpulan ini, sempat hati ini ragu dengan
keputusan ini. “ Apa benar saya harus berpisah dengan ujung mungil yang saya punya?
“ tanya saya dalam hati. Tapi iming – iming sepeda baru dari emak sering
menghapus keraguan dalam jiwa. Sehingga waktu 2 minggu berlalu begitu saja.
Tepat hari ini, saya
harus merelakan kepergian ujung mungil ini. Mau tidak mau harus tetap berpisah,
karena Acara perayaannya pun sudah akan digelar. Sudah ada tenda – tenda
dipasang di depan rumah, sounds system pun sudah lengkap. Seperti ada
kesenangan yang akan digelar disaat saya harus berpisah dengan ujung mungil.
Saatnya telah tiba, Malaikat
Izra’il Sopir pun sudah datang untuk menjemput saya. Saya dan keluarga
beserta teman teman saya mulai masuk mobil. Mobilnya ber-AC namun menjadi
sumpek karena kebanyakkan muatan. Saya juga bingung, mengapa teman teman saya ikut
ke tempat sunat. Fungsi serta manfaat mereka sebenarnya apa sih? Ingin
menyemangati? Saya ini mau sunat bukan mau tanding tinju. Jadi gak perlu
dukungan yang berlebihan juga sih. Tapi tak apa – apa juga, setidaknya
kehadiran mereka membuat mobil menjadi rame dan sumpek. Sesampainya di tempat
sunat, saya dan keluarga mendaftar dulu. Dan harus menunggu antrian / giliran
untuk dipanggil. Saya melihat ada anak cowok lain yang lagi ngantri untuk sunat
juga. Badannya lebih besar dari saya. Kulitnya lebih gelap dari kulit saya.
Nampaknya, ketika dia besar dia pantas jadi pemain SMACKDOWN. Saat saya
melihatnya, tiba – tiba dia juga melihat ke arah saya. Akhirnya kita berdua
lihat – lihatan. Dia melihat saya dengan tatapan sinis meremehkan. Kalau saya
bisa membaca isi hatinya, pasti dia sedang meremehkan saya yang tubuhnya kecil
( bahasa pengganti : KONTET). Tatapannya seakan – akan ketika saya disunat
nanti saya pasti menangis yang luar biasa. Setelah menatap saya dengan begitu mesra
sinis, akhirnya dia dipanggil untuk disunat terlebih dahulu. Gayanya belagu
masuk ke kamar sunat sambil mendorong pintu dengan kakinya. Padahal jelas –
jelas tertulis di pintunya “TARIK”. Mau ditendang sekalipun gak bakal kebuka
itu pintu. Saya Cuma bisa nahan ketawa nahan tingkah aneh orang ini.
Saat dia sudah masuk ruangan sunat, tak lama terdengar suara
jeritan yang menggema. Rasa ragu saya yang berminggu minggu saya pendam kini
muncul secara perlahan. Jeritan anak tadi, semakin lama semakin keras. Dalam hati
bertanya – tanya “ Masa iya makhluk mengerikan tadi takut disunat? “. Semakin
hati ini ragu untuk berpisah dengan si ujung mungil. Tak berselang lama, si
Anak belagu ini keluar sambil mengusap air matanya. Ia meninggalkan tempat
sunat dengan wajah tertunduk dan badannya lemas. Tiba – tiba terdengar suara
aneh yang menyeramkan. Ternyata itu suara panggilan untuk nomer urut saya. Saya
terkejut, seakan tak percaya. Sudah tiba masanya untuk saya berpisah dengan si
Ujung mungil ini. Bertahun – tahun kita sudah bersama, mengalami peristiwa suka
maupun duka. Berat rasanya kaki ini melangkah menuju ruang sunat. Perlahan demi
perlahan saya buka pintu ruangan. Saya melihat ada 2 dokter yang menyiapkan
alat – alatnya. Ada gunting, pisau, wajan, microwave, teflon. Maaf, ternyata
saya salah masuk ruangan, itu dapur.
Akhirnya saya masuk ruangan sunat, dan terjadilah.....
( maaf cerita sunat harus disensor karena mengandung unsur –
unsur yang tidak begitu penting untuk dipublikasikan)
Setelah saya disunat, saya diperbolehkan untuk pulang. Setelah
keluar ruangan sunat, teman – teman saya bertanya bagaimana rasanya. Bahkan pak
sopir pun juga tanya bagaimana rasanya. Sempat kesel juga sih, ya kan pas sunat
dikasih obat penghilang rasa sakit, ya saya gak ngerasaiin apa - apalah. Memang
berharap saya sunat rasanya apa? Anggur? Melon?Nanas? Buah Naga? Atau Naga
beneran sekalian. Tapi memang gitu, disaat ada yang sunat pasti akan ada
pertanyaan kampret itu muncul.
Akhirnya saya dan semua orang yang mengantar saya balik ke
rumah. Di rumah kita sudah ditunggu oleh keluargs besar saya. Saat kurang
beberapa meter dari rumah, malah mobilnya mogok. Terpaksa saya dan rombongan tadi
jalan kaki. It’s ok, i’m fine.
Next saja.. ceritanya jangan panjang – panjang.. nanti
dikira daftar dosa kalian lagi.. :v
Oh iya, 1 minggu kemudian dari hari itu, saya dibelikan
sepeda oleh emak. Langsung dari toko sepeda. Senangnya hati ini tak karuan.
Akhirnya bisa pamer. Hehehehe..
No comments:
Post a Comment